Jumat, 20 November 2009

Geliat Bursa Walikota Surabaya

KRC, Surabaya
Wacana pencalonan Bambang Dwi Hartono sebagai wakil wali kota periode 2010-2015 memang sah secara hukum positif. Demikian juga soal rencana Saleh Ismail Mukadar, bakal calon wali kota PDIP, yang akan mundur jika terpilih agar Bambang bisa naik jadi wali kota. Tapi, aksi ''tipu-tipu politik'' tersebut dapat membuat citra PDIP kian ambles. Demikian pula citra Bambang D.H. yang selama ini sudah terpupuk apik.

Itu diungkapkan pengamat politik dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISI) Universitas Airlangga Haryadi kemarin (19/11). Haryadi mengakui bahwa popularitas Bambang begitu moncer. Kiprahnya sebagai wali kota selama 7,5 tahun cukup membanggakan. Dengan demikian, ungkap master dari University of California Berkeley itu, wajar PDIP begitu memperjuangkan Bambang secara mati-matian.

Bambang pun diplot di posisi mana saja, termasuk duduk di posisi calon wakil wali kota. Tujuannya suara untuk Bambang tidak lari ke mana-mana.

Setelah dinyatakan tidak bisa mencalonkan diri lagi karena sudah dua kali menjabat, pencalonan Bambang di posisi wakil wali kota memang sah. Hukum positif membolehkan, aturan main politik juga tidak melarang. Namun, siasat lanjutan Saleh Mukadar, yakni mundur kalau terpilih agar Bambang sebagai wakil bisa naik lagi ke pucuk pimpinan, bisa jadi bumerang. ''Masyarakat kita mungkin tidak akan bisa menerima aksi tipu-tipu dan pembohongan itu. Mungkin secara politik itu biasa, tetapi hal tersebut sangat tidak bermoral di mata masyarakat,'' katanya.

Kalau betul strategi itu yang akan dijalankan, nama Bambang akan hancur di mata publik. Menurut Haryadi, orang akan menilai suami Dyah Katarina tersebut ambisius dan gila kekuasaan. Hal tersebut, menurut Haryadi, akan membikin suara PDIP tidak malah baik, tetapi hancur luar biasa.

Haryadi menuturkan, meski berat, Bambang seharusnya menjadi orang di balik layar saja dalam menyokong calon dari PDIP. Dia bisa muncul di publik dan berperan untuk memberikan personal guarantee saja kepada siapa saja calon dari PDIP. Dia bisa meyakinkan pengikut setianya untuk memilih siapa pun kader PDIP yang maju. Sebab, calon tersebut adalah penerusnya.

Itu bisa jadi salah satu siasat politik untuk menyaingi calon dari Partai Demokrat. ''Saleh Mukadar juga tidak mudah kalah kalau digaransi oleh Bambang. Banyak suara Bambang yang akan mengalir ke sana,'' tuturnya.

Strategi yang cespleng memang perlu. Sebab, kegagalan Bambang untuk mencalonkan diri lagi membuat peta persaingan begitu mudah ditebak. Wawali Arif Afandi diyakini berada di pole position untuk merebut kursi Surabaya-1. Tapi, jalan Arif pun tak mulus. Ada pertarungan internal dalam tubuh Demokrat. Kalau Arif bisa mendapatkan rekomendasi dari PD untuk maju, maka peluangnya akan sangat besar. ''Asal strategi politik yang diusung Arif tepat. Terutama saat memilih pasangan yang pas, maka dia akan bisa melenggang,'' tutur Haryadi.

Dengan mundurnya Bambang, kata Haryadi, tak ada calon lain yang bisa menyaingi popularitas dan tingkat elektibilitas Arif. Haryadi, bapak dua anak itu, menuturkan, ada tiga survei yang dilakukan salah satu lembaga dalam mengukur sosok yang layak memimpin Surabaya. ''Saya tak menyebut lembaga tersebut. Tapi, saya jamin kredibel,'' ujar Haryadi.

Dalam survei pertama setahun lalu, popularitas dan elektabilitas Bambang melesat. Arif dan Saleh Mukadar tercecer jauh. Saleh pun tak bisa mengejar posisi Arif. ''Figur lain masih belum kelihatan. Tidak masuk hitungan lah. Kita anggap itu sebagai variabel saja. Mungkin hanya ada Indah Kurnia di luar tiga orang itu. Tetapi jaraknya juga masih sangat jauh,'' tandas Haryadi.

Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu menambahkan, konfigurasi calon masih belum berubah saat lembaga survei itu melakukan tracking kedua, tiga bulan lalu. Bambang D.H masih yang teratas. Namun Arif Afandi mulai mendekati tingkat elektabilitas dan popularitas Bambang. Itu karena wacana gagalnya Bambang D.H. untuk maju kembali. Sementara itu, Saleh Ismail Mukadar namanya semakin jauh tertinggal dibandingkan dua orang incumbent tersebut. Calon lain, kata Haryadi, masih belum muncul ke permukaan.

Sebulan lalu, lembaga survei kembali melakukan tracking. Arif Afandi mengalami lonjakan yang sangat berarti. Meski dia masih berada di bawah Bambang D.H., namun, sedikit sekali jaraknya. Nama Saleh rupanya terus terpuruk. Dalam survei tersebut, dia makin tenggelam.

Lantas bagaimana dengan sosok lain? Haryadi mengungkapkan, sosok seperti Fandi Utomo, Wisnu Wardhana, Tri Rismaharini, dan M. Sholeh sudah muncul. Namun mereka masih belum bisa menyaingi tingkat popularitas dan elektabilitas tiga orang tersebut. Haryadi meyakini bahwa konfigurasi itu tidak banyak berubah menjelang pilwali mendatang.

Haryadi juga menyebut Arif justru akan lebih mudah merebut hati masyarakat Surabaya ketimbang bertarung di tingkat internal partai. Pertarungan di Demokrat sangat ketat. Arif harus bertarung dengan Fandi Utomo dan Wisnu Wardhana. Apalagi, kata Haryadi, Fandi dan Wisnu punya lobi yang sangat kuat ditingkat elite. Terutama Fandi. Track record mantan ketua tim sukses SBY-Kalla Surabaya pada pilpres 2004 cukup mengagumkan. Fandi pun pernah menjadi pemenang konvensi PKB dalam pilwali Surabaya 2005 meski bukan berasal dari partai itu. ''Walau akhirnya PKB memutuskan lain, itu merupakan sebuah pencapaian tersendiri,'' tuturnya.

Namun, peluang Wisnu dan Fandi sangat berat. Haryadi menyebut dua orang tersebut sangat telat. ''Harusnya, dua tahun lalu mereka deklarasi. Apalagi Wisnu terkesan tidak serius. Dia terkesan hanya ingin meningkatkan bargainnya saja sebagai ketua DPC,'' tandasnya.

Haryadi menyebut bahwa Tri Rismaharini bisa maju. Namun bukan sebagai bakal calon wali kota, tetapi bakal cawawali. Meski track record Risma di pemerintahan sangat cemerlang, namun sosok Risma masih belum kuat sebagai orang yang bisa duduk di jabatan politik. ''Tingkat popularitasnya boleh tinggi, tetapi elektabilitasnya rendah,'' tutur Haryadi.

Senada dengan Haryadi pengamat politik lain asal Unair Kacung Maridjan menuturkan, peluang Bambang D.H untuk maju sebagai cawawali bisa terbuka lebar. Sebab hukum postif memungkinkan hal tersebut. Tetapi, hal ini bisa menjadi blunder bagi Bambang dan PDIP. Pasalnya, dia akan dinilai ambisius dan gila kekuasaan oleh masyarakat. Dan hal ini tidak bagus. (hn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar