Jumat, 29 Mei 2009

Prabowo Cawapres Terkaya


KRC, JAKARTA —
Calon wakil presiden pendamping Megawati Soekarnoputri yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Gerindra, Prabowo Subianto, memiliki harta kekayaan paling banyak dibandingkan pasangan capres dan cawapres lainnya.

Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang diterima KPU, Prabowo memiliki harta kekayaan Rp 1.579.376.223.359 dan 7.572.916 dollar AS.

Demikian terungkap dalam LHKPN yang diumumkan KPU di Jakarta, Jumat (29/5). "Sebagaimana janji kami, komisioner sepakat untuk mengumumkan LHKPN," kata anggota KPU, Syamsul Bahri, saat jumpa pers di Kantor KPU, Jakarta.

Berikut daftar kekayaan capres dan cawapres:

. Prabowo Subianto Rp 1,5 triliun dan 7,5 juta dollar AS
2. Megawati Soekarnoputri Rp 256,4 miliar
3. Jusuf Kalla Rp 314,5 miliar dan 25.668 dollar AS
4. Wiranto Rp 81,7 miliar dan 378.625 dollar AS.
5. Susilo Bambang Yudhoyono Rp 6,8 miliar dan 246.389 dollar AS
6. Boediono Rp 22 miliar dan 15.000 dollar AS

Minggu, 24 Mei 2009

Mantan Presiden Korsel Bunuh Diri




KRC, SEOUL -
Skandal suap dan korupsi menyebabkan mantan Presiden Korsel Roh Moo-hyun, 62, memilih mengakhiri hidup. Karena malu terhadap tuduhan yang ditimpakan kepada dirinya, pria yang menjabat presiden Korsel pada 2003-2008 itu tewas bunuh diri kemarin (23/5).

Moon Jae-in, mantan kepala staf kepresidenan pada era Roh, membenarkan adanya kabar itu. ''Mantan Presiden Roh tewas setelah melompat dari gunung di belakang rumahnya. Dia juga meninggalkan sepucuk surat,'' katanya.

Pengacaranya juga membenarkan adanya surat wasiat yang ditinggalkan Roh untuk keluarganya. Polisi berjaga-jaga di sekitar TKP (tempat kejadian perkara) dan rumah Roh di Desa Bongha, Kota Gimhae, 450 km tenggara Seoul, setelah insiden tersebut.

Roh tewas akibat luka parah yang diderita di bagian kepala. Dia juga mengalami patah tulang di beberapa bagian tubuh, termasuk tulang rusuk dan panggul. Meski Roh dinyatakan tewas karena bunuh diri, polisi Korsel terus menyelidiki kasus tersebut dan juga mengumpulkan berbagai bukti.

Setelah mengakhiri jabatannya sebagai presiden, Roh menghabiskan waktu dengan tinggal di desa di Gunung Bongha, dekat kota Busan. Moon lantas menuturkan, Roh Moo-hyun meninggalkan rumah sekitar pukul 05.45 untuk mendaki Gunung Bongha. Saat itu, dia sebetulnya ditemani bodyguard.

Di tengah jalan, tepatnya di tebing curam setinggi 100 meter (400 kaki) yang dinamai Owl's Rock, keduanya berhenti. Ketika perhatian sang pengawal beralih ke hal lain, Roh meloncat atau terjun sekitar pukul 06.40. ''Dia jatuh 20-30 meter dan luka parah,'' tutur polisi seperti dikutip kantor berita Yonhap.

Karena luka-lukanya itu, Roh dilarikan ke rumah sakit terdekat pukul 08.15. Selanjutnya, dia dipindahkan ke Busan National University Hospital. Tapi, pukul 08.30 dia dinyatakan meninggal.

Dalam pesan lewat surat, Roh selama ini menjalani kehidupan yang sulit. Dia juga meminta maaf karena telah membuat banyak orang menderita. Surat wasiatnya dibacakan di stasisun radio dan televisi nasional oleh Moon Jae-in.

''Saya tak bisa membayangkan sakit yang teramat sangat di jalan. Akhir hidup saya hanya bisa menjadi beban bagi yang lain. Saya tidak bisa melakukan hal lain karena tidak sehat,'' tulisnya.

Dia juga meminta keluarganya tidak menangisi kepergiannya. ''Jangan terlalu sedih. Bukankah hidup dan mati sama-sama merupakan hal yang sama-sama alami (pasti terjadi). Jangan meminta maaf. Jangan salahkan siapa pun. Ini takdir,'' katanya. ''Tolong saya dikremasi. Dan, tolong tinggalkan batu nisan kecil di dekat rumah. Saya berpikir lama soal itu,'' lanjutnya dalam surat tersebut.

Roh merupakan presiden ketiga di Korsel yang terjerat kasus korupsi. Tapi, dia merupakan pejabat pertama di Negeri Ginseng yang bunuh diri karena tuduhan korupsi. Dua pendahulunya, Chun Doo-hwan dan Roh Tae-woo, telah divonis hukuman mati karena korupsi. Namun, keduanya mendapat grasi dari Presiden Kim Young-sam pada 1997. Sedangkan Roh belum divonis.

Bulan lalu Roh menyampaikan permintaan maaf atas nama keluarganya karena tuduhan menerima suap USD 6 juta (sekitar Rp 61,5 miliar) selama pemerintahannya. ''Saya merasa malu kepada semua rakyat. Saya meminta maaf telah mengecewakan,'' kata Roh di depan stasiun televisi pada 30 April sebelum menjalani pemeriksaan di pengadilan selama 13 jam.

Dia membantah telah melakukan korupsi atau menerima suap. Roh mengakui bahwa istrinya, Kwon Yang-sook, menerima USD 1 juta (sekitar Rp 10,2 miliar) dari pengusaha sepatu kaya, Park Hae-hon. Tapi, dia menyatakan bukan suap, melainkan imbalan karena membantu sang pengusaha dari kebangkrutan. Soal uang USD 5 juta (sekitar Rp 51,3 miliar), dia menyebut itu sebagai investasi.

''Dia menolak semua tuduhan terhadap dirinya,'' tutur jaksa penuntut Cho Eun-sok. Sebelumnya, kakak Roh juga divonis empat tahun penjara terkait skandal suap. Setelah kematian Roh, Menteri Kehakiman Korsel Kim Kyung-han menyatakan bahwa secara formal kasus Roh ditutup. Tetapi, Kim tidak menyatakan apakah keluarga Roh akan tetap diperiksa atau tidak. (AP/AFP/RTR/dd)

Senin, 04 Mei 2009

Kilat Kapolda Metro Nyatakan Antasari Resmi Jadi Tersangka Jelaskan Kronologi Pembunuhan Nasrudin




KRC, Jakarta
- Pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen dilakukan secara terencana dan melibatkan banyak pelaku. Antasari diduga sebagai aktor intelektual di balik pembunuhan tersebut sehingga ditetapkan sebagai tersangka dan dijerat pasal 340 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Demikian penjelasan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono usai pemeriksaan yang berlangsung Senin (4/5) pagi hingga petang. Nama Antasari Azhar muncul setelah polisi menggali informasi dari tersangka sebelumnya yang telah ditahan. Total ada 11 tersangka yang terseret kasus pembunuhan ini.

Masing-masing Daniel (D) sang eksekutor, Edo (E) sebagai pemberi order, Henrikus Kia Walen (H) sebagai penerima order, Heri Santoso (HS) sebagai pengendara motor, A dan C sebagai pemantau lapangan saat eksekusi, AM sebagai pemantau kebiasaan korban, Wiliardi Wizard (WW) dan Jerry Kusuma (JK) sebagai penghubung, SHW sebagai penyandang dana, dan AA sebagai aktor intelektual.

Penangkapan-penangkapan itu, lanjut Wahyono, dilakukan setelah pihaknya mendengarkan keterangan-keterangan awal dari beberapa saksi yang menyaksikan penembakan itu. Keterangan saksi-saksi itu mengungkap identitas sepeda motor yang digunakan pelaku yakni jenis Yamaha Scorpio. Dari penelusuran terhadap sepeda motor itulah Polisi menangkap Heri Santoso (HS) dan menyita sepeda motor tersebut.

Dari keterangan Heri, diketahuilah identitas Daniel (D) dan Hendrikus (H) yang merupakan orang yang memberikan pekerjaan. Setelah menangkap H, barulah diketahui bahwa ada pihak lain yang terlibat dalam penembakan tersebut. Mereka adalah A dan C. Kedua tersangka itu berperan sebagai pemantau lapangan dan berada di dalam mobil saat kejadian.

"Hasil penangkapan terhadap A membuahkan informasi keterlibatan pelaku lain yakni AM yang perannya adalah memantau serta mengobservasi kebiasaan korban sehari- hari," jelas Wahyono. Ia mengatakan sebelum penembakan yang dilakukan di Modern Land, Tangerang pada 14 Maret 2009 sekitar pukul 14.05 WIB, para pelaku terlebih dahulu melakukan observasi serta mengamati kebiasaan korban sehari-hari.

Keterangan A menyebutkan bahwa AM juga sebagai pihak yang mengawasi pelaksanaan eksekusi terhadap Nasrudin. Untuk menjalankan pekerjaan itu, AM menerima dana atas pekerjaannya dari A. Ternyata, tersangka A pula yang bertugas menyediakan senjata api jenis revolver dengan cara membeli dari pihak lain.

Sebagian sisa dana yang diterimanya, telah pula digunakannya untuk membeli dua buah sepeda motor Yamaha Mio warna merah dan Jupiter MX warna hitam. Kedua sepeda motor itupun telah disita Polisi. Setelah ditangkapnya Heri dan Hendrikus, barulah Polisi berhasil menangkap D sang eksekutor setelah yang bersangkutan kembali ke Jakarta.

Dari keterangan D, Polisi berusaha menggali informasi tentang keberadaan senjata api yang telah digunakan untuk membunuh korban. Setelah itu, baru diketahui bahwa senpi itu berada di tangan Hendrikus yang memberi pekerjaan tersebut.

Akhirnya, pengakuan H menyebutkan bahwa senpi tersebut disimpan H dengan cara memendamnya di dalam tanah. Setelah menggali tempat tersebut, Polisi menemukan senpi yang dimaksud lengkap dengan enam butir peluru.

Ternyata dua peluru dalam keadaan tidak berproyektil lagi. Artinya dua peluru itu telah digunakan untuk menembak. Sedangkan empat peluru lainnya masih utuh dan terletak di silinder senpi tersebut. Pengusutan dilanjutkan dan hasilnya Polisi mengetahui bahwa H sang pemberi kerja, menerima order pekerjaan dan dana dari seseorang yang berinisial E (Edo).

E pun ditangkap Polisi. E menyebutkan, ia ikut dalam pertemuan- pertemuan dan dipertemukan dengan oleh orang yang bernisial C untuk ketemu dengan orang yang lainnya lagi. Ternyata orang tersebut Wiliardi Wizard (WW), polisi aktif berpangkat Kombes yang pernah menjabat Kapolres Jakarta Selatan.

Pemeriksaan terhadap WW menyebutkan bahwa ia mengakui telah menyediakan orang-orang untuk melaksanakan pembunuhan berencana tersebut. Ia juga mengakui, untuk melaksanakan pekerjaan tersebut setelah menerima dana dari Sigid Haryo Wibisono (SHW), seorang pengusaha pemilik PT Pers Indonesia Merdeka dan dihubungkan oleh Jerry Kusuma (JK). SHW yang kemudian ditangkap Polisi mengakui telah menyediakan dana untuk pembunuhan tersebut. Ia juga menyampaikan perihal siapa yang akan menjadi target penembakan itu.

Sigid pula yang menguak keterlibatan Antasari Azhar (AA) dalam pembunuhan berencana terhadap Nasrudin. Dari keterangan SHW, akhirnya polisi memanggil dan memeriksa AA dan menetapkannya sebagai tersangka.(don)

Jumat, 01 Mei 2009

Polri Tidak Perlu Ijin Presiden Untuk Periksa Ketua KPK




KRC, jakarta -
Isu keterlibatan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen masih bergulir, meski dia telah membantah. Bila Polri ingin memeriksa Antasari, Polri tak perlu izin presiden.

"Nggak ada itu izin dari Presiden untuk memeriksa Antasari. Itu perlu izin kalau dia mau diberhentikan," kata pengamat hukum dari Universitas Gadjah Mada Zaenal Arifin Mochtar kepada wartawan, Jumat (1/5/2009).

Pendapat itu juga dibenarkan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR, Suripto. Menurut dia, selama belum menjadi tersangka, polisi memang tidak memerlukan surat izin dari Presiden.

"Tapi harus minta izin dari Presiden kalau akan ditangkap atau ditahan. Nggak bisa nahan atau nangkap seenaknya juga," kata Suripto saat berbincang melalui telepon.

Lebih lanjut Zaenal mengatakan, polisi memang tidak boleh terburu-buru dalam menetapkan status seseorang. Namun, bukan berarti kepolisian boleh menutup-nutupi sebuah kasus.

"Harus lebih terbuka, transparan, dosanya apa dia dan keterlibatannya apa. Jangan ditutup-tutupi," kata pria yang berprofesi sebagai dosen di UGM itu.(ard)